RSS

Atas Nama Cinta

Pernahkah anda berpacaran? Untuk pertanyaan ini, saya yakin mayoritas akan menjawab pernah. Karena melalui pacaran itulah kita mencoba untuk menjajagi dan mengenali pasangan kita masing-masing. Tapi benarkah pacaran itu memang efektif sebagai mediasi untuk memahami segala sesuatu tentang calon pasangan hidup kita? Kalau memang efektif, kenapa masih banyak pasangan suami isteri yang memutuskan untuk bercerai setelah sekian tahun menikah meskipun sebelumnya sudah diawali dengan pacaran?

Seperti tulisan saya sebelumnya "Let's talk about love : Cinta..., cinta?", saya akan mencoba untuk sedikit mengupas mengenai pacaran ini berdasarkan pengalaman, pemikiran dan persepsi pribadi saya. Bukan berdasarkan pemikiran para filosof dan psikolog atau mengutip buku-buku mereka. Sehingga apapun yang akan saya sampaikan nantinya masih sangat debatable.

Pacaran, dalam persepsi saya, ternyata tidak dibutuhkan sama sekali. Pacaran bagi saya tidak ada manfaatnya dan hanya menghabiskan energi saja. Karena perhatian, konsentrasi, waktu, bahkan uang kita akan habis tersedot selama proses berpacaran yang kita lakukan atas nama cinta tersebut. Apabila dihitung-hitung dan ditimbang-timbang, ternyata pacaran tidak terlalu banyak membawa kebaikan, malah sangat banyak membawa keburukan bagi kita. Uraian dibawah akan menyajikan beberapa argumentasi yang mendasari premis saya itu.

Alasan pertama yang membuat saya tidak setuju dengan konsep pacaran adalah karena bagi saya cinta itu tidak ada dan tidak nyata. Yang ada di dunia ini adalah hukum sebab akibat yang termaterialkan dalam bentuk pamrih atau motif. Baik pamrih positif maupun pamrih negatif. Cinta sejati hanya ada tiga yaitu cinta antara Allah kepada manusia, cinta Rasulullah kepada umatnya dan cinta orang tua (terutama ibu) kepada anaknya.

Alasan kedua adalah karena dalam berpacaran akan muncul keinginan untuk saling memiliki. Hasrat inilah yang dijadikan sebagai pembenaran untuk mengatur hidup pacar masing-masing. Padahal sebenarnya mereka belum punya hak sama sekali untuk melakukan itu. Yang memiliki hak mengatur hidup seseorang hanyalah orang tuanya selama si anak belum menikah. Karena orang tualah yang membiayai seluruh kebutuhan hidupnya. Baru melalui prosesi nikah yang sah, sang suami atau isteri memperoleh hak untuk mengatur hidup pasangannya masing-masing berdasarkan kesepakatan bersama.

Saya sendiri berencana apabila anak saya sudah besar nanti, saya akan melarang dia untuk berpacaran. Boleh saja berteman dekat, tapi jangan sampai menyatakan cinta dan bersedia menjadi pacar seseorang. Jauh lebih baik mempunyai banyak teman dekat daripada memiliki satu orang pacar. Semakin banyak teman berarti semakin banyak silaturahmi. Semakin banyak melakukan silaturahmi biasanya semakin banyak rejekinya. Saya akan bilang ke anak saya nanti : "Jangan takut disebut sebagai playgirl atau playboy. Karena sebutan itu menunjukkan ketidakmampuan mereka melemahkan prinsipmu untuk tidak berpacaran. Apabila ada yang terus menerus menyebutmu seperti itu dan kamu tidak terima, jangan kuatir karena ada bapak yang selalu ada di depanmu untuk membelamu." :-)

Alasan ketiga adalah karena apabila dua orang yang berpacaran sedang bertengkar, maka seluruh energi mereka akan habis tersedot untuk menyelesaikan pertengkarannya. Padahal pertengkaran atas nama cinta itu benar-benar tidak cukup berharga untuk diberikan perhatian lebih. It's not worhty enough jack, really... Sangat tidak layak apabila air mata dikeluarkan hanya sekedar karena cinta belaka. Lebih baik apabila energi itu disalurkan untuk melakukan pengembangan diri atau untuk menyenangkan diri sendiri. Masih banyak hal penting lain yang jauh lebih layak dikerjakan dibandingkan membiarkan energi kita habis untuk sesuatu yang dinamakan cinta.

Alasan keempat adalah karena berpacaran akan memunculkan suasana yang tidak sehat bagi kita. Menurut Harry dalam film "When Harry Met Sally', bohong apabila seorang laki-laki berkawan dengan perempuan tanpa ada pamrih apapun. Jadi tidak akan ada relasi adik-kakak dalam hubungan antara cewek-cowok. Yang ada adalah interest, termasuk di dalamnya adalah nafsu syahwat. Nah, nafsu inilah yang berbahaya. Dalam sepanjang sejarah peradaban manusia, pertumpahan darah terjadi seringkali disebabkan oleh urusan bagian bawah perut ini. Kisah perkelahian antara Habil dan Qabil dalam Islam diakibatkan oleh nafsu syahwat. Demikian juga di jaman Romawi dulu, Troya runtuh tidak jauh-jauh dari urusan bawah perut. Troya hancur karena memperebutkan perempuan bernama Helen. Sehingga dikenal-lah Helen of Troy.

Sayang sekali apabila terjadi kehamilan akibat hubungan seksual pra nikah. Karena belum siap untuk menikah dan merawat anak, akhirnya kandungan diaborsi. Baru saja saya selesai melihat tayangan tentang proses aborsi. Dalam tayangan itu diperlihatkan bagaimana bayi-bayi itu bergerak-gerak ketakutan dan merasa sakit saat alat penghancur memasuki rahim, yang terekspresikan melalui peningkatan intensitas detak jantung bayi. Miris hati saya melihat tayangan itu, how dare did they do that stupid thing?

Empat hal itu sudah cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa pacaran jauh lebih banyak membawa keburukan daripada kebaikan. Pacaran tidak menjamin kita mampu memahami pasangan sepenuhnya. Buktinya banyak yang menghabiskan sekian tahun untuk pacaran dengan alasan agar lebih saling mengenal, setelah setahun menikah langsung bercerai.

Maka apabila membutuhkan waktu untuk mengenal calon suami atau isterinya, tidak berarti harus melalui metode berpacaran. Karena ternyata proses memahami dan mengerti pasangan masing-masing akan berlangsung seumur hidup sampai mati.

Atas nama cinta? Enggak deh...
sumber: http://indonesia.heartnsouls.com/cerita/l/c1115.shtml

0 komentar:

Posting Komentar